Jati Diri Anak Terkubur oleh Determinasi Orang Dewasa

Manusia yaitu individu aktif sebagai pencipta dan pengurus, demikian juga dengan anak kita. Namun tanpa disadari kita para orangtua membuat mereka tak berdaya. Jati diri anak terkubur oleh determinasi orang akil balig cukup akal.

Awal Mula Determinasi

Sadar atau tidak sadar, setiap hari kita berkutat dengan aneka kesibukan. Apa yang sebelumnya kita pilih sebagai aktivitas, entah bagaimana, lalu bermetamorfosis menjadi kewajiban. Kita tak lagi pencipta dari acara tersebut, tetapi telah dikendalikan oleh ciptaan kita. Kita mesti mandi pagi, sekolah, makan, kursus, bekerja dan sebagainya. Lama-lama hal tersebut membelenggu dan mendikte kita.

Tidak cuma itu, kita juga diberikan peran ini dan itu oleh orang yang punya wewenang, baik formal maupun terjadi alasannya kebiasaan. Begitu juga dengan para murid yang dideterminasi oleh gurunya atau bawah umur yang diputuskan oleh para orangtuanya. Berbicara ihwal dua hal terakhir, maka kita diberi bahan pertimbangan berupa tujuan, mau jadi apa diri kita atau orang yang berada dalam wewenang kita. Mau kita apakan dan arahkan kemana anak kita, mau kita bentuk pola pikir seperti apa murid-murid kita.

Baca tulisan terkait

Kajian Filsafat Eksistensialisme perihal Pilihan

Apakah Kamu Mendidik atau Mendikte

 

Sebagaimana dikatakan oleh Heidegger yang meyakini bahwa manusia itu nondeterministik, bahwa manusia itu berada dalam keadaan keterlemparan. Kita telah ditentukan tanpa bisa meminta dan mengganti, semisal lahir dari rahim siapa, punya orangtua siapa, berjenis kelamin apa, hidup di tempat mana, dan sebagainya. Namun di segi lain, Heidegger juga meyakini bahwa insan itu penentu, tidak dideterminasi. Individu tidak lagi otentik. Untuk kembali terhadap kondisi alamiah (atau kondisi kasatmata dalam perspektif humanisme), maka kita berusaha memperoleh otentisitas kita. Jika dikaitkan dengan keadaan anak di rumah atau murid di sekolah, maka seharusnya guru atau orangtua membantuk anak-anak memperoleh jati dirinya.

jati diri anak

Jati Diri Anak Terkubur oleh Determinasi Orang Dewasa (foto: popmama.com)

Anak Tidak Menemukan Jati Diri Karena Determinasi Orang Dewasa

Menemukan jati diri setara atau mempunyai arti yang identik dengan membentuk huruf. Membangun abjad yang kuat yaitu misi pendidikan. Pada hasilnya, karakteristik manusia yang kuat akan bermetamorfosis menjadi karakter bangsa yang kuat. Masyarakat dengan karakter yang berpengaruh akan menciptakan negara menjadi berpengaruh.

Masalahnya, cara kita memperlakukan anak atau murid menciptakan mereka makin jauh dari jati dirinya. Dengan kekuasaan yang kita miliki, murid kita tundukan dan arahkan sesuai keinginan kita. Mereka tidak punya peluang untuk memperoleh diri sendiri. Bahkan mereka tak memiliki kesempatan untuk sekadar mencar ilmu menemukan diri sendiri.

Baca goresan pena terkait:

Kompetisi Ego Menggangu Keselarasan Orangtua dan Anak

Menghilangkan Keunikan Anak dengan Diksi ‘Lebih Unik’

 

Kondisi ini mampu melemahkan anak atau murid kita dalam melakuan determinasi. Anak kita akan kesulitan memilih sikap, ragu dalam mengambil keputusan, runtuh akidah dirinya, dan menjadi eksklusif yang lemah. Kita pastinya tidak menghendaki anak kita menjadi lemah. Namun sayangnya, ketidakinginan kita tersebut diwujudkan dalam tindakan yang kian melemahkan mereka. Kita memarahi, merendahkan dan menekan mereka alasannya kelemahannya. Kita tak pernah memuji dan melulu mengritik (bahkan mencela). Kita tak menyediakan ruang dialog yang cukup dengan lebih banyak memerintah. Anak tak memiliki kesempatan belajar sebab diharamkan berbuat salah.

Kita semua tentu menyadari situasi mirip ini. Hanya saja tidak banyak dari kita yang bertindak, tidak banyak dari kita yang mengubah diri. Kita terlalu menyerahkan diri kita terhadap kebiasaan (default system). Kita sendiri telah terdeterminasi oleh kebiasaan kita. Kita tidak mempunyai kuasa untuk mengubahnya. Kita tahu bahwa kita salah. Namun kita tak beranjak darinya. Berawal dari kesadaran ini, mari kita mulai berubah.

LihatTutupKomentar