CARA MEMBUAT Simpulan Diagnostik secara Bertanggung Jawab

Membuat simpulan diagnostik yakni salah satu bab yang krusial dalam investigasi psikologis. Untuk dapat menciptakan diagnostik yang bertanggung jawab, maka kita harus setia pada konsep dan data.

Pentingnya Simpulan yang Bertanggung Jawab dalam Diagnostik

Beberapa waktu yang kemudian, saya menguji hasil praktikum mahasiswa pendidikan profesi. Hal yang menarik adalah ketika banyak kalimat yang digunakan sudah melompat kepada simpulan-selesai. Padahal bagian tersebut sebaiknya menerangkan tentang info atau data. Ia menuliskan “Subjek (disebutkan inisial) merasa kebingungan dalam mengendalikan emosinya”, bukan “Subjek menawarkan reaksi secara impulsif ketika menghadapi masalah yang menekan”. Meskipun keduanya tetap memakai bahasa desain, namun kalimat yang kedua lebih menempel pada data. Sayangnya, mahasiswa tersebut merasa bahwa yang dituliskannya yaitu data. Lalu bagaimana caranya nanti kita menarik akhir dari kalimat-kalimat yang bunyinya telah mirip akhir.

Cara penulisan yang demikian dapat menciptakan penarikan akhir yang salah. Simpulan yang salah akan menciptakan kita menawarkan tindakan yang salah pada klien. Lebih parah lagi, kalau hal ini bukan cuma wacana ketidakmapuan dalam penulisan, tetapi lebih merupakan persoalan pola pikir. Hal ini bisa kita cek dari klarifikasi atau bahasa verbal yang digunakan. Kita mampu coba mengajak diskusi atau menawarkan pertanyaan terhadap mahasiswa yang bersangkutan. Ketika penjelasannya juga terbiasa menggunakan bahasa dengan inferensi yang tinggi (bahasa konsep), maka sudah dipastikan contoh pikirnya juga demikian, menawan akhir secara lemah. Sayangnya, mahasiswa tersebut mengalami duduk perkara ini.

membuat simpulan diagnostik

Wajib untuk menciptakan simpulan diagnostik yang bertanggung jawab (foto: lifepack.id)

Membuat Simpulan Diagnostik yang Bertanggung Jawab

Untuk menangani hal tersebut, atau setidaknya mengurangi masalah tersebut bagi mahasiswa yang berguru psikodiagnostika, maka beberapa hal berikut mampu diamati.

1. Mencatat gosip secara deskriptif

Ketika membuat catatan, asuh diri kita untuk tidak membuat kalimat-kalimat yang sifatnya melompat dan mengarah kepada tamat (high inferential). Buat catatan sedeskriptif mungkin, semirip mungkin dengan faktanya. Cek kembali kata atau diksi yang sifatnya konseptual dan yang nyata. Kalau yang abstrak, telah niscaya mesti dicarikan buktinya di lapangan, kemudian catat memakai kata yang sifatnya fakta. Misalnya kata ‘khawatir’ mampu kita lihat bentuk faktanya di lapangan, seperti gemetar, tidak dapat mengambil langkah-langkah (stuck) dan sebagainya.

2. Mengelompokkan informasi pada konten dan konteks yang sama

Hasil observasi atau penggalian data mampu sungguh beragam dan banyak jumlahnya. Kita mampu menggolongkan isu tersebut dalam konten dan konteks yang sama. Kesamaan konen mempunyai arti isi informasinya sama, contohnya sama-sama perihal gejala emosi yang ditampakkan atau diceritakan. Sedangkan kesamaan konteks yakni berhubungan dengan kawasan dan waktu kejadiannya, misalnya tanda-tanda tertentu timbul di sekolah tapi tidak timbul di rumah, hanya terjadi ketika akan cobaan tapi tidak timbul ketika pelajaran biasa, dan sebagainya.

3. Jangan buru-buru mengambil tamat biasa

Kadang kita terjebak pada dugaan. Ketika kita membaca data, maka kita mampu saja menyimpulkannya menurut keinginan kita, ganjalan dari orang lain (contohnya orangtua atau gurunya), atau didasarkan pada pengalaman kita sendiri. Jika memang hal ini tidak bisa ditahan, maka tuliskan saja dulu. Kemudian lakukan review terhadap simpulan kita. Turunkan simpulannya jikalau terlalu lazim. Misalnya final bahwa subjek mengalami depresi, mampu kita turunkan menjadi subjek mengalami tekanan di daerah kerjanya atau alasannya adalah tugas-tugas sekolahnya.

4. Penting untuk mengerti desain psikologis yang berafiliasi dengan data

Setelah mengaji ihwal datanya, kita juga tidak boleh melewatkan rancangan yang bekerjasama dengan data atau informasi yang kita dapatkan. Jika kita memperoleh data-data yang berkaitan dengan kontrol emosi, tekanan dan semacamnya, maka kita mesti mempelajari wacana depresi, administrasi emosi, atau yang terkait dengan itu. Pemahaman kita akan rancangan menciptakan kita berada pada track yang benar. Selain itu, agar kita tidak resah dan mencampuradukkan antar desain, contohnya antara akidah diri (efficacy) dengan iman diri atau motivasi.

Baca juga artikel terkait:

Bermain Tebak Rasa untuk Belajar Observasi

PENTING DIKETAHUI PSIKOLOG, Alur Asesmen dan Intervensi

Tiga PENGHAMBAT Kepekaan MENANGANI KASUS

 

5. Bandingkan data dengan konsep

Setelah datanya lengkap dan kita telah mempelajari rancangan yang bekerjasama dengan data tersebut, maka kita dapat melaksanakan verifikasi data dengan menggunakan rancangan yang kita pahami. Yang menjadi pegangan bagi kita ialah definisi dan karakteristik atau ciri-ciri dari gejala yang kita diagnosis.

6. Buat final sementara

Setelah mempertemukan data dan konsepnya, kita bisa membuat tamat sementara. Karena kita sudah mengerti banyak sekali diagnosis yang berdekatan atau berafiliasi, jadi sangat mungkin final sementara kita nantinya akan bergeser atau berganti.

7. Buktikan dengan tindakan diagnostik formal

Setelah memperoleh akhir sementara, saatnya kita melaksanakan asesmen secara formal. Kita pastikan apa saja yang memungkinkan untuk dijadikan sistem atau alat asesmen. Metode asesmen bisa berupa observasi, wawsancara, tes dan sebagainya. Dari hasil keseluruhan asesmen tersebut kita mampu menciptakan final simpulan.

 

Demikian cara kita untuk menghasilkan final diagnostik yang bertanggung jawab. Jika ada hal lain yang aku lewatkan, silahkan tuliskan di kolom komentar, supaya semakin memperkaya dan terjadi diskusi yang membangun diantara kita.

LihatTutupKomentar