PENDIDIKAN Kita Melestarikan Budaya Verifikasi Benar dan Salah?

Pendidikan kita tercermin dari budaya yang lestari di forum-lembaga pendidikan, khususnya pendidikan formal. Apakah benar bahwa pendidikan kita sudah membentuk eksklusif pembelajar? Jangan-jangan pendidikan kita telah melestarikan budaya verifikasi benar dan salah.

Pernah tidak, kita diberikan pertanyaan seperti ini, “Ini tugas aku, tolong diperiksa apakah telah benar?” atau “Pak/Bu tolong dicek, apakah ada yang salah?”. Kamu yang guru atau dosen, mungkin pernah mendengar kalimat serupa itu. Atau mungkin juga Kamu yang mahasiswsa juga pernah melakukannya?

Jika pertanyaan-pertanyaan tersebut ditujukan bagi mandor, supervisor, atau pengawas, ok lah tidak jadi persoalan. Namun hal ini bahwasanya suatu budaya yang salah arah ketika dialog semacam itu terjadi antara guru dan siswa atau dosen dan mahasiswa.

Saya sering menyampaikan kepada mahasiswa panduan skripsi, praktikum, thesis atau tugas-tugas kuliah, bahwa saya bukan verifikator. Lebih-lebih ada mahasiswa yang melakukan peran golongan, tiba bareng kelompoknya dan minta tugasnya dicek benar atau salah. Selain itu memosisikan aku selaku hakim atas tugasnya, itu juga sama saja dengan mencuri start. Dosen yang pada jadinya akan menunjukkan penilaian atas tugasnya, ditanyai tentang status benar dan salahnya peran mereka. Parahnya lagi, pertanyaan tersebut sengaja mereka ajukan agar nilai tugasnya manis. Coba bayangkan kalau posisi kau menjadi dosen atau guru yang mengalami hal tersebut.

melestarikan budaya verifikasi benar dan salah

Apakah Pendidikan Kita Melestarikan Budaya Verifikasi Benar dan Salah? (foto: nur-agustinus.blogspot.com)

Budaya verifikasi benar dan salah ini tidak cuma dalam bentuk pertanyaan atas peran (atau semacamnya). Kebiasaan ini bermetamorfosis menjadi sikap-perilaku yang tanda disadari mampu menghambat pertumbuhan ilmu pengetahuan. Dosen dan mahasiswa atau guru dan siswa yang sedianya berdialog untuk membangun pengetahuan menjadi seperit kekerabatan umat dan dewa. Satu pihak punya kuasa untuk memutuskan kebenaran, di lain pihak dalam posisi inverior untuk menerima ketentuan. Akhinya hal ini membentuk pola pikir dan mentalitas siswa/mahasiswa (jika tidak disebut membentuk mentalitas pendidikan kita). Kondisi ini turut memperkuat warisan pendidikan feodal yang menciptakan murid menjadi pasif dan tidak ekspresif dalam memperlihatkan potensinya. Mereka takut melaksanakan kesalahan.

Baca juga artikel yang terkait

Apakah Kamu Mendidik atau Mendikte?

Memaksakan Cara Berpikir Kita Dapat Melemahkan Imajinasi Anak

Sebagai Guru, Sudahkan Kita Berdiri di Atas Sepatu Siswa?

 

Mentalitas membutuhkan verifikasi ini turut dibuat oleh budaya dalam pendidikan kita, tergolong perlakuan kita selaku pendidik terhadap murid kita. Budaya yang dimaksud tidak lain yakni tujuan pendidikan yang disimplifikasikan dengan angka-angka atau nilai. Pendidikan tidak lagi menjadi pembangun mentalitas pembelajar dan bertujuan berbagi ilmu pengetahuan. Perlakuan para pendidikan yang berubah menjadi menjadi mandor atau supervisor juga tidak kalah besar pengaruhnya. Guru atau dosen yang banyak mendikte muridnya akan menuai hal yang sama, ialah melahirkan mentalitas yang membutuhkan verifikator.

Semoga dengan pengingat ini, kita secepatnya menyadari dan berbenah diri dalam menyelenggarakan pendidikan ini. Menyelesaikan duduk perkara budaya yang mengakar dalam tata cara dan terinternalisasi dalam pribadi memang tidak semudah membalik telapak tangan. Namun kesadaran ini mampu menjadi materi bakar untuk secepatnya memulai dari diri sendiri, baik yang berposisi selaku murid atau selaku guru/dosen.

Bagaimana meruntuhkan mentalitas ‘memerlukan verifikasi’ dan berubah dengan mentalitas kerja sama untuk membangun wawasan, akan kita bahas pada tulisan selanjutnya.

Related posts